“Aku Bukan Untukmu,
Mas”
“KAMU itu bagaimana sih mas,
sudah tau istri banyak kerjaan, masih
saja sibuk ngurus orang lain. Aku ini kan istrimu, mestinya kamu duluin aku dongmas,
baru yang lain. Gak peka banget kamu mas,” kesal seorang istri kepada suaminya, sembari menangis
tersedu-sedu.
“Bingung aku, harus gimana,” keluh sahabatku, Donny, kepadaku menuturkan kemelut rumah
tangganya yang dihadapainya semalam itu. Tak hanya itu, aku Donny, kemelut
serupa sudah berkali-kali ia alaminya. Ia mengaku kesal dengan sikap istrinya
yang selalu ingin diperhatikan lebih dari biasanya. Salah sedikit, marah,
nangis, ngomel-ngomel.
Ternyata, tidak cuman sahabatku
yang sudah dua tahun menikah itu yang mengeluhkan istrinya. Teman-teman
sekantorku juga mengaku bernasib sama. Istrinya suka marah, ngomel, dan sebagainya.
“Telat sedikit sudah
curiga, rapat akhir pekan apalagi. Belum lagi kalau gaji tidak cukup, wah, rame pokoknya
rumahku,” kata Donny sembari melempar kertas di tangannya ke meja.
Dalam hati aku berdoa,
semoga istriku tidak seperti itu. Selama ini sih memang aman-aman saja. Tapi nggak tau nanti kalau ada masalah sedikit saja, bisa nggak ya
istriku mengerti, aku membatin.
*****
DI LUAR sana masih gelap.
Hanya tampak percik lampu di setiap teras rumah komplek rumahku, terseling daun
pepohonan nan rimbun. Dini hari itu seperti biasa, di tengah selimut malam yang
pekat nan dingin, aku terbangun. Secepat kilat mataku melihat jam dinding, oh sudah
jam 4 pagi ternyata. Waktunya sujud, sudah injury
time lagi!.
Segera kusingkap
selimutku dan beranjak menuju kamar mandi. Kutinggalkan istriku yang baru saja
lelap setelah sepanjang malam berjibaku dengan bayi mungilku yang tak kunjung
menutup mata. Kasihan dia, rasanya ku ingin tetap di sampingnya.
Tetapi, aku harus bangkit
untuk segera tersungkur di hadapan-Nya. Injury
time sudah
kian rapat, kalau kutunda, pasti aku akan kehilangan momentum berharga yang
hadir di setiap penghujung malam itu.
“Siapa yang memohon
ampunan-Ku akan Ku-ampuni,” demikian sebuah firman Al Azizyang disebut orang sebagai Hadits
Qudsi. Segera aku bangkit, dan membasuh wajah, tangan, kepala,
telinga, dan kedua kakiku.
Kuraih sajadah merah yang
sudah mulai tampak lusuh itu yang terletak di sisi meja kerjaku di ruang tamu,
lalu terhampar. Kuangkat kedua tanganku, dan Allahu
Akbar.
Tidak banyak rakaat yang
kutegakkan, hanya dua kali berdiri. Ya, dua rakaat. Tetapi itu kulakukan di
setiap penghujung malam. Kadang aku berpikir, ya Tuhan, apakah sholatku ini
berkualitas, tapi Nabi mengingatkanku, amalan yang baik itu adalah yang sedikit
tetapi tak pernah berhenti. Aku yakin, amalan ini adalah sangat baik.
Aku masih duduk
bersimpuh. Tak lama lagi azan Shubuh berkumandang, aku rutinkan kembali memohon
ampun sebanyak-banyaknya dengan istighfar. Tak lama kemudian, azan shubuh pun
mendayu-dayu menembus dinding tembok rumahku. Suara azan nan syahdu.
Supriadi, ya suara
adzannya mengingatkanku pada kampung halamanku. Suaranya yang merdu dalam
melantunkan adzan, membawa khayalku pada 25 tahun silam di kampung kelahiran,
indah sekali adzan itu. Belum kulupakan langgamnya, masih sangat khas.
Azan masih berlangsung.
Aku menatap layar monitor, ada sesuatu yang ingin kupersembahkan kepada orang
banyak, kepada republik ini, kepada bangsa dan negaraku. Meskipun entah siapa
yang akan menerima karya anak ingusan seperti aku. Aku tak peduli, diterima
atau tidak, aku harus bekerja dan berkarya.
Ku tak kan pernah bisa
melupakan pesan nenek yang setiap hari memandikanku kala mau ke sekolah saat SD
dulu. “Jadilah kamu seperti pohon pisang dalam menuntut ilmu. Jangan berhenti,
jangan mati, kecuali engkau telah memberikan buah masakmu,” itu yang menjadi
program tetap nenek setiap pagi.
Terdengar dari kejauhan
Supriadi sudah memungkasi azannya dengan shalawat Nabi jelang iqomah seperti
biasa. Aku pun segera beranjak dan menyusuri jalan kecil menuju masjid. Kali
ini aku harus tersungkur lagi. Oh, aku pun terngiang, kenapa ya kok harus bersujud terus. Begitu dulu waktu aku berumur 10 tahun
kerap bertanya-tanya.
Belakangan aku mengerti
karena memang hakikatnya diriku ini bukan siapa-siapa, diriku bodoh dan tak
berdaya. Jika tidak menyungkurkan diri di hadapan Penguasa Alam, lalu kepada
siapa aku memohon pertolongan. Sekarang aku memang harus tersungkur kembali. Allahu Akbar!.
Usai menghamba, memohon,
merintih dan meratap kepada penguasa alam, aku pun beranjak dari rumah-Nya. Di
luar masjid, aging berhembus cukup kencang. Menusuk-nusuk. Aku segera beranjak
menuju pulang.
“Assalamu’alaikum,” seruku seraya membuka pintu yang memang tidak pernah dikunci
kala aku menyambut seruan adzan Shubuh. Tidak biasanya, istriku mestinya
menjawab. Aku merasa ada yang aneh. Seketika kulangkahkan kakiku menuju kamar
tidur.
Astaghfirullah, mata
istriku masih terlelap sambil sesekali menarik napas ke hidung tampak sesak
napas. Kudekati dan ku pegang keningnya, Masya
Allah, istriku panas tinggi!.
Sekejap kemudian aku
berfikir Ini harus segera dibawa ke bidan, istriku tidak boleh sakit. Ada
banyak urusan umat yang aku harus kuselesaikan. “Dik, bagaimana, pusing
berat ya,” tanyaku kepadanya dengan lembut. “Iya mas, kepala adik sakit, badan
terasa pegal-pegal, dan panas, mas,” jawabnya lirih.
“Ya sudah, kalo begitu
sekarang berjuang dulu untuk bangun, sholat shubuh, kalau tidak sanggup nanti
duduk saja,” sahutku. Dengan sedikit bantuanku, ia mencoba melawan sakitnya
untuk bangun. Alhamdulillah masih mampu.
Lama kulihat ia bersujud,
terlihat ia menikmati sekali sholat dalam kondisi badan yang sakit itu. Alhamdulillah, meski sakit ia tetap bisa beribadah dan
mengingat-Nya. Meskipun tampak masih pusing berat karena panas kepala yang
mendera dini hari itu.
“Adik bagaimana, hari ini
mas harus ke tempat kerja, ada beberapa tugas yang tidak bisa diwakilkan,”
kataku usai dia berdoa. “Nggak apa-apa mas, berangkat saja,”
jawabnya pelan.
“Lalu bagaimana nanti
kalau ada apa-apa, dik?”
tanyaku memastikan. “Sudahlah mas berangkat saja. Insya
Allah, adik baik-baik saja. Ini cuma demam biasa. Jangan terlalu
khawatir. Kehadiran mas di tempat kerja jauh lebih utama,” jawabnya penuh
keteguhan.
“Mas jangan lupa, pesan
mas dulu, “aku
bukan untukmu,” begitu kan? Jadi
berangkatlah, Allah akan bersama mas, bersama adik dan bersama keluarga kita
semua. Anak-anak,Insya Allah, juga akan baik-baik saja,” paparnya
meyakinkanku.
Subhanallah,
istriku memang super sekali, meminjam ungkapan Bapak Mario Teguh. Istri yang
tidak pernah cengeng, merengek, apalagi meminta perhatian berlebihan. Jiwanya
seperti karang di Pantai Lamampu Batu Hidup di Pulau Sebatik, Kaltim, itu.
Ruhnya bak mentari yang terus menyinari akal dan hatinya.
Aku sering kali berfikir,
ia adalah kiriman Tuhan untuk mendukung visi dan misiku menyelamatkan rakyat
Indonesia. Membangun Indonesia memang sudah menjadi spirit dan jiwa besarku. Subhanallah, luar biasa sekali. Kira-kira bagaimana ya
kalau aku seperti Nabi Ibrahim yang punya Siti Hajar, atau Nabi Muhammad yang
didampingi Siti Khadijah dan Siti Aisyah.
“Lah, berat
bisa seperti dua manusia mulia itu, sementara akal, hati, jiwa dan ragaku belum
sepenuhnya kupersembahkan untuk-Nya,” pikirku sembari meringis menertawakan
khayalanku yang tak mungkin kuraih. Seperti ini saja sudah membahagiakan.
“Siapa yang
bersungguh-sungguh menyerahkan jiwa raganya untuk-Nya, maka Ia akan mengirimkan
sesautu yang mendukungmu untuk-Nya,” itu pesan guru terbaikku kala duduk di
bangku SMA dulu.
Jadi, apalagi, utamakan
masyarakat, prioritaskan rakyat banyak, maka istri dan kelurgamu akan mengerti
bahwa kamu bukan untuknya. Pesan itu tak bisa kulupakan, setip waktu selalu
terbesit dan ia menguatkanku.
Sekarang aku baru
mengerti pesan guru SMA-ku dulu yang mengatakan padaku bahwa kalau kamu cari
istri, carilah yang ia melihatmu bukan sebagai miliknya, tetapi wanita yang
melihatmu sebagai milik-Nya.
“Dengan begitu kamu bisa menjadi lelaki yang berguna bagi bangsa
dan negara, karena istrimu tidak pernah bertanya kepadamu tentang harta benda,
tetapi akhlak dan kepribadianmu, sudah cukup membuatnya bahagia dunia akhirat,”
begitu pesannya.
0 komentar:
Posting Komentar